Katong yang di Latuhalat khususnya yang tinggal di Ukuhuri , Omputty Dan Tupa sangat mengenal Hatuhoat atau biasa di katakan Batuhoat yang mana terletak di pantai Malulang atau lurus saja dari baeleo ke pantai distu akan kelihatan Hatuhoat / batuhoat ketika aer meti.
Ceritanya berawal ketika kepulauan Banda terdapat sebuah pemerintahan bernama petuanan Rum yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Sahulau di pulau Seram. Petuanan ini dikuasai oleh seorang latupatih yang berkedudukan di ibukota Lautaka. Karena pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, maka Latupatih memerintahkan sebagian penduduknya berpindah ke pulau Jawa di bawah pimpinan puteranya yang sangat sakti dan memiliki kulit agak gelap sehingga dijuluki Latumeten ( = Raja hitam ). Rombongan dari petuanan Rum selanjutnya menetap di pulau Jawa, tepatnya di kerajaan Kahuripan. Pada waktu pengaruh Islam masuk ke pulau Jawa, rombongan Latumeten menolak ajaran tersebut dan memutuskan untuk kembali ke tanah asal mereka di kerajaan Sahulau. Rombongan Latumeten kemudian meninggalkan pulau Jawa menuju ke pulau Seram dan singgah di Waeputih (belakang tanjung Sial/Hoamual). Setelah melalui Hatusua, rombongan melanjutkan perjalanan ke pulau Ambon dan singgah di negeri Ureng. Setelah melalui beberapa negeri di pulau Ambon seperti Rumahtiga, Passo,Suli, Hutumuri, Halong dan Soya, mereka akhirnya singgah di pantai Ukuhuri, tepatnya di sebuah labuhan yanmg bernama Malulang, dimana perahu yang mereka tumpangi menjelma menjadi sebuah batu yang disebut Hatuhoat (= Batu perahu ). Perjalanan rombongan Latumeten dari suatu tempat ke tempat lain menyebabkan mereka dijuluki Tarinusa ( = Cari pulau ). Konon rombongan Latumeten dipimpin oleh seorang kapitan bernama Sakitawan. Di dalam rombongan tersebut terdapat seorang kapitan lain bernama Sulaiman. Kapitan ini memiliki warna kulit agak terang sehingga dijuluki Latuputty ( = Raja putih ). [Sumber lain bahwa Latuputty berhubungan saudara dengan Latupapua dari negeri Kilang]. Rombongan Latumeten kemudian mendirikan sebuah perkampungan yang bernama Tupa, tepatnya di suatu aliran air yang disebut Wairissa (= Air permusuhan) sambil mengintip kapitan Bontuwawa di benteng Amanlanite. Di tempat inilah mereka menetap dan menurunkan matarumah Latumeten hingga saat ini. Beberapa hari kemudian datanglah seorang kapitan Seram dari Hoamual dengan menggunakan sebuah gusepa/perahu yang bernama Lessy dengan gelar Satumalay. Sebelum melakukan perjalanan ke Tupa, kapitan ini berlayar dengan menggunakan buah hutung sehingga pada lahuhan tempat singgahnya tumbuh sebuah pohon hutung hingga saat ini. Kapitan Latumeten kemudian mengangkat Lessy sebagai anak angkatnya untuk melakukan perlawanan terhadap orang – orang Paupeealanit di benteng Amanlanite.